Menyambung dari tulisan sebelumnya, kami kali ini akan membahas terkait dalam melakukan kebaikan. Sempat saya memiliki pemahaman yang agak salah dalam hal ini. Pemahamannya sebagaimana berikut:
Bangga memiliki guru itu biasa. Namun, dibanggakan guru adalah hal yang luar biasa. Saya sangat ingin dibanggakan guru, sehingga saya harus senantiasa menampakkan kebaikan kepada guru.
Konsep semacam itu sempat tertancap lama di kepala, tanpa saya utarakan. Namun, saya sepenuhnya sadar bahwa konsep tersebut kacau. Konsep itu pulalah yang menyesatkan saya. Letak kekacauannya ialah: rasa bangga guru itu sesuatu yang not up to us.
Kita tidak layak memikirkan sesuatu yang not up to us. Seharusnya yang kita upayakan adalah sesuatu yang up to us: semisal, taat kepada guru, ngirim fatihah kepada guru, berbakti kepada guru, hingga berakhlak kepada guru. Semua itu ada dalam kendali kita. Soal apakah guru membanggakan kita, itu sepenuhnya kita pasrahkan kepada guru, dan betapa kurang ajarnya kita jika kita yang mengatur hal itu. Karena itu sepenuhnya not up to us.
Konsep di atas mengapa sampai saya katakan menyesatkan? Saya melihat banyak kekurangajaran di sana. Kita malah memprioritaskan menampakkan kebaktian, daripada berbakti itu sendiri. Itu justru racun yang malah membikin tujuan dibanggakan guru pupus.
Fokus agar dibanggakan guru, malah terkadang melalaikan kewajiban kita kepada guru tersebut. Seharusnya, kita fokus kepada diri kita untuk senantiasa berbakti, soal dibanggakan atau tidak itu not up to us.
