(Bacaan bagi yang gabut saja. Kalau sibuk, skip aja!)
Tepat setahun yang lalu, saat saya baru menginjak umur 21 tahun, saat itu saya masih berada di Solo, Jawa Tengah. Melaksanakan tugas belajar-mengajar. Iya, tepat bulan Rajab pula hijriahnya.
Bagi guru tugas (GT), bulan Rajab merupakan bulan yang tentu penuh akan kebahagiaan, sebahagia santri yang sudah mulai merasakan angin-angin liburan. Di pesantren, sudah biasa santri menghitung mundur liburan dengan kreativitas masing-masing. Ada yang membuat semacam kartu nomor yang menunjukkan tanggal liburan yang hari demi hari diambil satu-persatu, sampai liburan. Ada pula yang tiap harinya menghitung mundur hari pulangan di papan tulis. Ada pula yang bahkan di almarinya dicorat-coret kayak lagi ngitung hasil suara pemilihan presiden. Tentu itu bukan sebagai pengingat, karena santri pasti ingat tanggal liburan, melainkan itu merupakan keseruan tersendiri dan menunjukkan betapa bahagianya ia menunggu liburan.
Begitu pun bagi GT, silahkan tanyakan ke teman-teman seangkatan saya, atau bahkan ada dari pembaca tulisan ini yang pernah mengalami atau bahkan sedang menyandang status GT, tidak asing akan obrola-obrolan di grup GT, tentang berakhirnya masa tugas. Ini juga tidak terlepas dari sisi kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan bagi yang mengalaminya.
Begitu pun saya, waktu itu, tepat setahun lalu, saat saya sedang berulang tahun ke-21, saya bahagia luar biasa. Tentu kebahagiaan dan syukur saya lantaran telah melaksanakan amanat tugas dari pesantren yang setidaknya menurut penilaian penanggung jawab guru tugas (PJGT), asatiz dan santri di sana memuaskan. Saya sangat bersyukur pula, telah melaluinya dengan baik, tanpa ada sesuatu yang justru merugikan pesantren.
Namun, di sisi lain, tanpa dipungkiri, saya juga sangat bahagia karena sebentar lagi saya akan pulang, serta pikir saya waktu itu adalah menghabiskan waktu-waktu saya bersama keluarga melayani masyarakat dan membatu di pesantren, ala ala orang yang masih baru boyong mondok. Pikir saya waktu itu begitu.
Tidak seperti tahun sebelum-sebelumnya, yang aktivitas atau perjalanan hidup, setidaknya selama setahun kedepan, sudah terprediksi dan terwacanakan dengan baik, justru pada tahun tersebut, sama sekali tidak terprediksi. Biasanya, tiap balik pondok setidaknya dalam kepala ada gambaran, setahun ini saya ngerjakan ini, nyelesaikan ini dan begitu seterusnya. Begitu pun saat hendak berangkat tugas, setidaknya trik-trik dan metode-metode bagaimana nanti saya bersikap dan mengajar sudah tergambar dengan jelas, bahkan jauh sebelum saya tahu tempat di mana saya tugas.
Saat waktu itu berulang tahun ke-21, saya pun memikirkan dan menggambarkan hal serupa tentang apa yang akan saya lakukan di rumah, bagaimana saya belajar, bagaimana saya mengajar dan bagaimana saya memposisikan diri di lingkaran keluarga, semua saya terlah saya pikirkan. Tentu pikiran kala itu sangat sederhana, sesederhana bagaimana biasanya seorang umur 21 tahunan yang baru selesai mondok. Tentu pikiranku kala itu, sebatas bantu-bantu saja, dan melaksanakan aktivitas remaja pesantren seperti biasa.
Saat memasuki bulan Ramadan, gambaran kehidupan itu terus berlanjut dan masih belum berubah. Seperti layaknya remaja biasa, saya waktu itu sekadar membentuk kelompok kecil-kecilan dengan nama Sahabat Ramadan, yang kegiatannya tayang di Tagtim Media bulan Ramadan tahun lalu. Sambil melanjutkan apa yang kami rintis sebelumnya, yakni mengurus milad Tagtim Media, dan ngarang-ngarang lagu baru untuk peserta baca kitab Metode Mustaqim serta mulang pelajaran kesukaan saya (apa lagi kalau bukan akidah) saat kegiatan pondok Ramadan Tagrinih Timur. Selebihnya, saya melakukan aktivitas remaja pesantren biasa, buka bersama, main game bola ala remaja gamers bahkan sampai ngadakan turnamen, hunting-hunting saat senja di tempat-tempat estetik ala santri fotografer, dan aktivitas biasa lainnya.
Saat itu, ya, sangat simple sekali. Tanpa harus memikirkan bagaimana masyarakat kedepannya, bagaimana sekiranya kemaksiatan yang terang-terangan bisa lenyap setidaknya di desa Mano’an, bahkan tanpa memikirkan jika semisal ada seseorang yang sedang kerasukan jin, terkena guna-guna dan lain semacamnya. Kala itu di pikiran saya simpel, “Itu semua urusan Aba,” begitu pikir saya. Saya hanya fokus kepada apa yang saya rencanakan, selebihnya itu terserah Aba. Bahkan kala itu, urusan menikah pun, saya pasrah sepenuhnya kepada Aba, dan waktu itu, saya tidak mau memikirkan tentang itu. Saya hanya akan melakukan aktivitas remaja seperti normalnya remaja yang baik-baik. Sungguh sangat simpel kehidupan kala itu.
Namun, saat bulan Ramadan meninggalkan kita, siapa yang menyangka bahwa hari-hari berikutnya, ternyata Aba juga meninggalkan kita. Tentu itu perubahan besar dalam hidup saya. Biasanya saya menggantungkan sepenuhnya, termasuk hal-hal berat kepada Aba, ya, sejak saat itu tentu tidak bisa lagi. Pikiranku kala itu ngehang layaknya penyimpanan perangkat yang sudah overload. Dan sejak saat itu, tahun tersebut berlalu tanpa terencana, layaknya rencana-rencana saya yang biasa saya bikin tiap tahun.
Bayangkan saja, bagaimana tidak terkejut, seorang remaja, yang di pesantren suka ilmu kalam dan hal yang berkaitan dengan itu (dan tentunya tidak menyukai hal-hal yang berbau supranatural) justru harus selalu berhadapan dengan hal yang berbau supranatural. Orang kerasukan jin, orang kena guna-guna dan lain sebagainya. Tentu dunia seperti itu, bukanlah dunia yang sudah terencana dalam pikiran saya.
Itu hanya satu contoh, dari sekian banyak contoh “dunia tak terencana” yang kami hadapi saat umur 21 tahun. Malam ini, saat saya baru berumur 22 tahun, dan sepekan lagi akan melangsungkan pernikahan. Sebagaimana awal tahun sebelum-sebelumnya, saya membaca membaca bagaimana setahun mendatang, serta apa yang perlu dipersiapkan dan diprioritaskan pada tahun tersebut. Soal hasilnya, apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, sama-sekali bukan urusan kita.
أنا أريد وأنت تريد والله يفعل ما يريد
“Saya dan kamu sama-sama memiliki rencana, sedangkan Allah akan melakukan sesuai rencana-Nya.”
